Minggu, 05 Agustus 2012

Konsep Rosululloh tentang Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pertanian


Ada banyak konsep yang disampaikan oleh berbagai kalangan untuk mendongkrak produksi pertanian dalam negeri. Namun, ternyata Rosululloh memiliki konsep untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi jauh-jauh hari sebelum Thomas Robert Maltus mengeluarkan teorinya. Beliau memberikan perintah kepada masyarakat untuk senantiasa mengelola tanah yang dimilikinya sehingga setiap jengkal tanah yang ada akan termanfaatkan. Bahkan beliau memberikan ‘reward’ kepada seseorang sebidang tanah mati bagi penggarapnya.
Barangsiapa menghidupkan lahan mati maka lahan itu untuk dia(HR. Abu Dawud dan Aththusi)
Saat ini, begitu luasnya lahan mati _tidak termanfaatkan_ oleh manusia sehingga banyak juga petani yang enggan untuk mengelola lahan miliknya. Saya pikir, persoalan sederhana seperti ini yang menjadi penyebab semakin menurunnya produksi pertanian nasional. Memperhatikan kondisi ini, Pemerintah berusaha untuk melakukan ekstensifikasi lahan pertanian dengan terus menambah lahan pertanian. Namun, muncul masalah baru yakni begitu banyak pula lahan yang dialihfungsikan menjadi lahan industri dan pemukiman.
Dalam Politik Ekonomi Islam, masyarakat ‘dipaksa’ untuk melakukan kegiatan pertanian seperti menaman tanaman pangan, beternak atau membuat tambak-tambak ikan. Sikap tegas Pemerintah ketika menuntun masyarakat dalam bertani menjadi jalan untuk mendorong meningkatnya produksi pertanian. Ternyata, selain masalah lahan dan teknologi, kondisi sosial budaya menjadi faktor penting dalam menentukan arah politik pertanian. Masyarakat saat ini cenderung tertarik bekerja di sektor industri dan jasa dibandingkan sektor pertanian. Begitu banyak pemuda desa yang berurbanisasi ke perkotaan dan enggan untuk bertani seperti orangtuanya.
Di era globalisasi saat ini, masyarakat diajak untuk melirik sektor industri dan jasa serta melupakan sektor pertanian. Pembentukan pola pikir menjadi hal penting untuk merubah orientasi kerja masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika sektor industri mulai melemah maka sektor jasa menjadi alternatif untuk mencari kerja. Sektor jasa komunikasi dan keuangan menjadi primadona para pencari kerja karena ternyata sektor ini mampu bertahan di era krisis ekonomi yang sedang terjadi.
Pola penyebaran penduduk yang tidak teratur bisa diatasi dengan ‘pemaksaan’ Pemerintah kepada masyarakat dalam mengelola tanah miliknya. ‘Pemaksaan’ yang dimaksud bukanlah bentuk pemaksaan fisik dan intimidasi tetapi berupa dorongan sosial untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak harus pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Pemerintah harus bisa menjelaskan hikmah-hikmah dibalik ‘pemaksaan’ ini.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat akan merasakan dengan nyata bahwa sektor pertanian dapat menjadi alternatif ketika kondisi ekonomi sedang mengalami kesulitan. Kita tidak bisa terus menyalahkan Pemerintah karena tidak bisa menyediakan beras murah padahal kita sendiri yang tidak mau mengelola lahan-lahan kosong yang terlantar begitu saja. Bahkan parahnya lagi, banyak pemilik lahan yang menyewakan lahannya pada orang lain untuk sekedar dijadikan kawasan wisata.
Dalam pandangan Islam, tanah bukanlah investasi untuk dimiliki dan ditelantarkan begitu saja. Tanah adalah aset berharga yang harus dikelola dan sentiasa termanfaatkan sehingga roda ekonomi akan terasa walaupun sedikit. Masyarakat pun senantiasa terdorong untuk beraktifitas di lahan mereka dan enggan memberikannya kepada orang lain karena bila sebidang lahan tidak dikelola dalam waktu tiga tahun maka tanah tersebut akan diberikan kepada orang yang siap mengelolanya.
Yahya bin Adam meriwayatkan melalui sanad Amru bin Syu’aib mengatakan:
“Rosululloh saw. telah memberikan sebidang tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah, kemudian mereka menelantarkannya, lalu ada suatu kaum menghidupkannya. Umar berkata: ‘Kalu seandainya tanah tersebut pemberian dariku, atau dari Abu Bakar, tentu aku mengembalikannya, akan tetapi (tanah tersebut) dari Rosululloh saw.’ Dia (Amru bin Syuaib) berkata; “Umar mengatakan:’Siapa saja yang mengabaikan tanah selama tiga tahun, tidak dia kelola, lalu ada orang lain mengelolanya, maka tanah tersebut menjadi miliknya.”
(Politk Ekonomi Islam, Abdurrahman Al-Maliki)
Memang, ambruknya sektor pertanian di negeri ini karena ada banyak faktor kebijakan yang keliru. Namun, hal itu tidak menjadi satu-satunya faktor menurunnya produksi pertanian dalam negeri. Faktor terpenting adalah melemahnya hasrat masyarakat dalam mengelola lahan pertanian. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini, diantaranya:
Pertama, pola pikir masyarakat digiring untuk melupakan sektor pertanian sejak usia dini. Sebaliknya, pendidikan di negeri ini lebih mengenalkan sektor industri sehingga Sekolah Kejuruan menjamur dimana-mana.
Kedua, masyarakat tidak mampu mengenal potensi pasar produk pertanian dan terjebak dengan sikap bertani ‘alakadarnya’. Sikap ini berpengaruh pada generasi berikutnya dimana mereka tidak bisa melihat dengan nyata peluang usaha pertanian.
Ketiga, masyarakat belum bisa membedakan dengan nyata pola hidup usaha pertanian _notabene di desa_ dengan kehidupan perkotaan. Jika, masyarakat bisa merasakan pola hidup hemat dan bersahaja ala petani maka banyak penduduk yang kembali ke desa dan menghidupkan lahannya yang sudah lama terlantar.
Dari sekian banyak kemungkinan, namun yang pasti faktor sumber daya manusia adalah faktor utama menurunnya produk pertanian kita. Alam negeri ini yang begitu melimpah tidak akan pernah berharga bila kita tidak berusaha untuk mengelolanya. Untuk itu, sudah seharusnya generasi negeri ini diperkenalkan dengan kondisi alamnya sendiri. Mereka jangan diberi harapan semu tentang ‘pertumbuhan industri’ atau ‘kekuatan ekonomi kerakyatan’ jika mereka tidak mau diajak ke ladang untuk sekedar mencangkul dan bercocok tanam. Ajak anak-anak kita ke sawah dan libatkan mereka dengan dunia petani maka mereka akan merasakan indahnya bersatu dengan alam.
Generasi yang dibutuhkan negeri ini adalah generasi yang punya pandangan ke depan dan tidak banyak mengeluarkan ‘teori-teori kosong’. Tembok-tembok ‘pemikiran barat’ hanya akan menjadi penghalang bagi kemajuan mereka. Mereka terlalu jauh melihat indahnya negeri orang padahal negerinya sendiri begitu indah. Kalau tidak indah, kenapa negeri ini selalu menjadi rebutan?

Tidak ada komentar: