Selasa, 07 Agustus 2012

Kedelai dan Ketahanan Pangan Indonesia


Impor komoditas kedelai hanya dikuasai oleh 4-5 pemain besar sehingga mereka bisa mempermainkan harga

BILA mau menguasai suatu bangsa, kuasailah sumber pangannya. Ungkapan ini kian relevan ketika ketahanan pangan kita terusik akibat harga kedelai impor melambung tinggi sehingga perajin tahu dan tempe pun mogok produksi. Jangankan kedelai, beras saja yang merupakan makanan pokok, kita impor. Maka wajar bila kebutuhan pangan kita sangat bergantung pada impor, dan akibatnya ketahanan pangan kita teramat rentan.
Kebutuhan kedelai nasional 2,2 juta ton, sekitar 80% atau 1,6 juta ton dibutuhkan untuk produksi tahu dan tempe. Dengan produksi kedelai dalam negeri hanya 700-800 ribu ton/tahun maka Indonesia harus mengimpor sekitar 1,5 juta ton/ tahun dengan bea masuk 5%.
Pascagonjang-ganjing harga kedelai, yang melonjak dari Rp 5.500 menjadi Rp 8.000/ kilogram, pemerintah memberlakukan kebijakan bea masuk 0% bagi impor kedelai. Akibatnya, Agustus-Desember 2012, negara kehilangan pendapatan Rp 400 miliar. Angka ini berasal dari harga rata-rata kedelai dunia dikalikan dengan jumlah impor yang diprediksi mencapai 2 juta ton. Di pihak lain, petani kedelai lokal makin terimpit dan menjerit. Dengan membanjirnya kedelai impor, petani akan banjir air mata. Lalu siapa yang diuntungkan? Mereka para importir dan pemburu rente.
Pemburu rente juga masih diuntungkan oleh impor beras. Simak saja, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah masih membuka keran impor untuk memenuhi cadangan beras dan menjaga ketersediaan beras di masyarakat. Kuota impor beras tahun ini 1 juta ton.
Padahal produksi nasional 2012 diprediksi naik 4,3%. Berdasarkan survei BPS akan terjadi surplus 5 juta ton. Bulog sampai hari ini sudah mampu menyediakan 2,5 juta ton. Artinya, 50% dari surplus itu sudah dikuasai Bulog.
Sementara Kementerian Pertanian menaikkan target produksi beras tahun ini menjadi 41 juta ton atau setara 74,1 juta ton gabah kering giling (GKG), naik 7,9% dari target semula yang diperkirakan 38 juta ton atau setara 70,6 juta ton GKG. Kenaikan produksi dilakukan sebagai upaya mengejar target swasembada tahun 2014 dan surplus beras 10 juta ton dalam 5-10 tahun mendatang. Untuk mendukung capaian itu, Kementerian Pertanian mendapat subsidi pangan Rp 41,9 triliun.
Bertolak Belakang
Pengadaan beras tahun ini hingga Juli 2,5 juta ton dan ditargetkan hingga akhir tahun 3 juta ton. Tahun lalu, pengadaan beras hanya 1,8 juta ton. Mengapa kebijakan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan saling bertolak belakang? Itu semua karena ada kepentingan para pemburu rente. Tak peduli apakah ketahanan pangan kita terancam atau tidak.
Saat ini ketahanan pangan kita masih sangat rentan. Ini terbukti dengan terdampaknya kita oleh kekurangan pasokan kedelai dari Amerika Serikat karena dilanda kekeringan. Untuk kebutuhan gula, kita juga masih tergantung pada impor. Kebutuhan gula nasional hanya mampu dipenuhi 60% oleh produksi lokal, selebihnya (40%) impor.
Ironisnya, dalam mengatasi masalah ketahanan pangan ini pemerintah terkesan instan. Untuk kedelai misalnya, pemerintah memberlakukan bea masuk 0%. Tentu tidak arif karena berdampak buruk bagi petani lokal. Masih soal kedelai, pemerintah tak berusaha, atau setidaknya tak berdaya, memberantas kartel. Impor kedelai hanya dikuasai oleh 4-5 pemain besar sehingga mereka bisa mempermainkan harga.
Pemerintah juga tak berusaha menambah luas areal pertanian, bahkan membiarkannya terus menyusut tiap tahun. Di Karawang Jabar yang merupakan lumbung padi nasional, tiap tahun 300 hektare lahan pertanian hilang. Seluas 800 hektare lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan/ industri.
Indonesia, akibat tekanan IMF tahun 1998, telah melepaskan proteksi terhadap 9 bahan pokok dan menyerahkannya ke mekanisme pasar. Saat ini Indonesia hanya memproteksi satu bahan pokok, yakni beras. Padahal Malaysia memproteksi 30 jenis bahan pokok. Inilah yang juga menjadikan ketahanan pangan kita rentan. (10)

– Drs H Sumaryoto, anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan

Tidak ada komentar: